Sedekah di bulan suci ramadhan
Kolom  

Ketika Ulama Gagal Melakukan Pencerahan Pemilu

banner 120x600
Sedekah di bulan suci ramadhan

Oleh : Masdawi Dahlan*

Peran ulama maupun para habaib yang menjadi tim pendukung pasangan capres-cawapres dalam Pemilu tahun 2024 ini ternyata tidak efektif dalam upaya menciptakan pemilu yang berkualitas. Pemilu khususnya pilpres ditengarai secara kuat masih terjadi kecurangan secara terstruktur sistematis dan massif.

Padahal kehadiran pada tokoh agama itu bukan hanya untuk menjadi pendongkrak suara atau vote getter saja, namun lebih khusus, sesuai dengan status mereka, bertugas untuk memberikan pencerahan kepada para pasangan, tim pendukung maupun masyarakat agar pemilu berjalan sesuai dengan aturan main hukum, etika dan agama.


Para ulama memiliki peran yang sangat yang mulia, sekalipun sangat berat, yakni melakukan pencerahan terhadap segala proses dan praktek politik yang dijalankan dengan menjunjung tinggi etika akhlak dan moralitas, sehingga perjalanan perpolitikan di negeri ini sesuai dengan perundang undangan dan bisa berjalan efektif.

Lebih dari itu, para ulama dan tokoh agama juga memegang tugas yang sangat penting yakni menyampaikan nilai nilai agama dalam politik. Para ulama harus dengan tegas menyampaikan pada pasangan yang didukung dan para pendukungnya untuk menghindari perilaku curang, melawan peraturan perundang-undangan, money politics, mengancam hingga intimidasi, dan aneka praktik politik yang menghalalkan segala macam cara.

Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa para ulama itu adalah pewaris para nabi. Artinya, mereka merupakan penerus perjuangan dan dakwah para nabi yang bertugas untuk memberikan pencerahan tentang kebenaran moral akhlak dan etika dalam menjalankan tugas hidup dimuka bumi.


Bergabung dengan tim sukses pasangan capres-cawapres tertentu, selain perwujudan demokrasi juga merupakan kesempatan bagi para ulama untuk menyampaikan pesan dakwah nabi untuk menjalankan dakwah Islamiyah dalam dunia politik.

Politik merupakan dunia abu-abu yang selama ini dijauhkan dari ajaran agama oleh para pelakunya. Padahal semua aktifitas hidup manusia nanti akan dipertangungjawabkan di hadapan Allah tuhan semesta alam, termasuk perilaku politik yang dijalaninya semasa hidup di dunia.


Ulama yang bergabung dalam tim sukses pasangan capres-cawapres harus berani menyampaikan bahwa berpolitik harus bermoral, berakhlak, jujur dan amanah. Tidak boleh curang dan memaksa, intimidasi dengan segala macam cara. Para ulama harus bisa mengatasi penyakit kronis perpolitikan Indonesia yang terjadi selama ini. Sekalipun tidak bersih seratus persen, namun sedikit demi sedikit kehadiran mereka harus bisa merubah keadaan makin lama harus makin tambah baik.


Prof Dr Makhfud MD cawapres dari pasangan capres-cawapres 03 dalam sebuah video yang viral beredar menyebutkan bahwa berdasarkan pandangan Imam Gazali, kerusakan rakyat itu karena pemerintahnya yang rusak, kalau pemerintahnya rusak karena ulamanya rusak. Mereka berbuat begitu karena mereka diperbudak atau cinta dunia dan cinta kedudukan atau jabatan, sehingga apapun dilakukan untuk meraih keinginan itu.


Dalam kaitan ini, Allah SWT dalam Al-Quran Surat Al Ambiya ayat 73 : “Dan kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami, dan kami perintahkan kepada mereka agar berbuat kebaikan, melaksanakan salat dan menunaikan zakat dan hanya keada kami mereka meyembah,”.

Yang terjadi selama ini khususnya dalam Pemilu 2024 ini, keberadaan para ulama tidak berpengaruh sama sekali untuk merubah kultur politik. Para ulama hanya dijadikan sebagai figur untuk meraup suara yang banyak. Hanya diminta untuk melafalkan doa agar tim atau pasangan yang didukung bisa meraih kemenangan. Materi kampanye yang disampikan dari para ulama dipanggung kampanye tidak mengandung unsur untuk menjadikan agama sebagai dasar politik.

Yang lebih parah lagi, kehadiran mereka dalam memberikan dukungan pada pasangan Capres Cawapres tertentu, diwarnai dengan dugaan kaut adanya politik transaksional yang sangat memalukan. Berbagai informasi di media sosial menggambarkan betapa banyak ulama yang menceburkan diri dalam kontestasi dukung mendukung pasangan, bermuatan politik transaksional. Memang tidak semua ulama pendukung pasangan Capres Cawapres tertentu melakukan praktik haram seperti itu. Masih banyak juga yang memberikan dukungan semata mata didasarkan niat jujur ikhlas karena perintah agama dan berani menolak menerima tawaran mony politik.


Kondisi pemilu tahun 2024 yang kini masih dalam tahapan proses itu, benar-benar jauh dari harapan ideal sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku, maupun dari sudut pandang etika moralitas dan ajaran agama. Kehadiran para ulama pada pemilu tahun ini tak lebih dari sekedar bekerja untuk mendapatkan material. Dan memang nilai mereka cukup mahal dengan harga miliaran rupiah. Akibatnya keberadaan mereka tak memiliki pengaruh positif sama sekali terhadap upaya pencerahan perpolitikan dan rekrutmen kepemimpinan politik nasional yang bermoral dan bermartabat.

Yang paling disayangkan tidak efektifnya kehadiran para ulama untuk membawa pencerahan dan perbaikan kultur politik, kondisi ini telah melahirkan anggapan bahwa politik itu boleh menghalalkan segala macam cara untuk. Kecurangan, mony politik dan intimidasi merupakan merupakan hal yang wajar dalam politik, buktinya para ulama tidak banyak peduli dan berusaha untuk menghentikan perilaku politik haram tersebut. Kondisi ini akan membahayakan masa depan bangsa. Generasi mendatang tidak lagi menjadikan masalah etika, hukum, akhlak dan moralitas agama sebagai dasar perilaku mereka dalam menjalani proses politik di negeri ini.

*) Penulis adalah Ketua Majelis Pustaka Informasi dan Digitalisasi PDM Pamekasan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *